Wajah Kerut Demokratisasi Indonesia

Bulan Mei 1998. Ketika itu kalender menunjuk ke angka 12 tepat hari Selasa. Sebuah “mimbar bebas” di Universitas Trisakti, Jakarta, berakhir dengan kematian empat orang mahasiswa. Peluru-peluru tajam menyarangi tubuh mereka. Entah darimana dan oleh siapa. Kesatuan-kesatuan TNI dan polisi, yang paling doyan main peluru dan gas air mata, tak ada yang mengaku bertanggung jawab.

Mahasiswa se-Indonesia pun naik darah, geram bukan kepalang. Mereka yang sebelumnya selalu berfaksi-faksi dalam menabuh genderang “refor-masi”, seketika melebur menjadi satu, menduduki Gedung MPR/DPR RI, untuk satu tekad dan tujuan: Tumbangkan rezim Soeharto…!

Alhasil, aksi pendudukan Gedung MPR/DPR RI kala itu, bisa membikin anggota MPR/DPRnya Orde Baru, dengan tidak enak hati, terpaksa menggoyang singgasana tuannya sendiri, Soeharto. Maka si otoritarianis itu sempoyongan, dia kehilangan keseimbangan lantas jatuh terpental ketiban kursi sendiri.

* * *
Begitulah. Sejak kejatuhan sang arsitek Negara Orde Baru, “reformasi…!” mulai menjadi kata terpopuler di bumi pertiwi. Kata ini, boleh dibilang tak pernah sepi dalam perbincangan elit kota maupun kaum awam pedesaan.

Bagi pemahaman elit, reformasi sama dengan perubahan evolusioner (bertahap dan gradual) yang mesti dijalankan secara konstitusional (menurut aturan main). Tapi bagi aktivis-aktivis gerakan radikal, reformasi adalah revolusi. Kelas menengah yang moderat, lain lagi. Mereka bilang, reformasi memang perubahan bertahap, tapi isinya-isinya harus revolusioner. Artinya, perubahan yang mau dilakukan mendasar, tidak sekadar tambal sulam sana-sini.

Jadi, dalam kemajemukan persepsi seperti itulah, reformasi Indonesia disemai sampai sekarang. Bagusnya, walau terjadi perbedaan persepsi, toh semuanya masih sepakat, momentum reformasi harus digunakan untuk membangun Indonesia yang demokratis. Jadi reformasi adalah “Demokratisasi Indonesia”.

Bicara soal demokratisasi, Samuel P. Huntington, pernah memberitahu kita lewat bukunya “Gelombang Demokraritsasi Ketiga” (Grafiti, 1995: 45). Katanya, “Pada tingkatan paling sederhana, demokratisasi mensyaratkan: (1) berakhirnya sebuah rezim otoriter; (2) dibangunnya sebuah rezim demokratis; serta (3) pengkonsolidasian rezim demokratis itu”. Singkat kata, demokratisasi berarti sebuah usaha yang terus-menerus dilakukan untuk merubah sistem kekuasaan otoriter menjadi demokratis.

Tapi dalam batasan apa sebuah rezim dapat disebut telah memiliki sistem kekuasaan demokrasi ? Ada yang bilang, kalau rezim itu terpilih berdasarkan prosedur-prosedur pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, ditambah jujur dan adil. Ada juga yang bilang, kalau sistem kekuasaan rezim itu sudah memiliki lembaga pemerintahan, lembaga perwakilan dan lembaga peradilan yang independen, fungsional, bebas korupsi, kolusi dan nepotisme.

Dua pandangan itu, umumnya berasal dari otak pintarnya kaum intelektual, yang tentu saja “berbeda dengan perasaan” ratusan juta petani, nelayan, buruh, masyarakat adat. Disebut “berbeda dengan perasaan …”, karena memang sebahagian besar dari mereka tidak lagi bisa “menggunakan pikiran”. Mereka hanya menggunakan preferensi “rasa lapar, sakit, miskin” ketika diajak berbincang tentang sistem kekuasaan demokrasi. Sehingga tak heran jika mereka, ratusan juta petani, nelayan, buruh dan masyarakat adat itu, acapkali berteriak: “sistem kekuasaan demokrasi adalah sistem kekuasaan yang memperhatikan kepentingan kami. Dan kepentingan kami adalah bebas dari rasa lapar, miskin, sakit dan disiksa…!”

* * *
Taruhlah “pikiran” kaum intelektual dan “perasaan” kaum awam tentang sistem kekuasaan demokrasi, keduanya dijadikan patokan. Begitupula dengan pendapat Huntington tentang tahapan atau tingkatan demokratisasi. Maka menjadi patut dipertanyakan, sudah sejauh mana rezim reformis Indonesia — dari Habibie, Gus Dur, Mbak Mega dan SBY — berhasil mengakhiri riwayat hidup struktur dan kultur rezim Orde Baru? Sudah sejauh mana rezim reformis itu membangun atau mengkonsolidasikan diri menjadi rezim demokratis ?

Tentang hal ini, para pengamat politik, di media massa, lebih sering kedapatan geleng kepala sembari mengerutkan dahi. “Tidak banyak yang berubah dalam reformasi, selain wilayah kontrol publik yang mulai terbuka lebar”, nilai mereka. Syukurnya, sebahagian dari pengamat politik itu masih menyimpan optimisme.

“Mudah-mudahan saja wilayah kontrol publik yang mulai terbuka itu, bisa memberi peluang baru bagi upaya membangun demokrasi”, kata mereka lagi. Tapi siapakah yang mesti membangunnya?

Kaum liberal bilang, hanya struktur kapitalisme yang bisa menjadi landasan membangun demokrasi. Caranya dengan melakukan liberalisasi politik dan ekonomi yang dimotori oleh para kapitalis (bankir, industriawan dan pengusaha lainnya). Demokrasi di atas panji-panji kapitalisme (neoliberalisme) inilah yang ngotot mau ditegakkan oleh Dana Moneter Internasional (IMF), Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dan Bank Dunia (World Bank), di Indonesia.

Tentu saja kaum sosialis radikal, unjuk protes tak setuju, karena mereka yakin sekali, kalau para pemilik modal dijadikan motor demokrasi, yang terjadi justeru kesenjangan ekonomi dan ketidak adilan politik. Negara atau pejabat negara, pasti lebih memihak pada para pengusaha itu ketimbang rakyat kecil. Makanya demokrasi, kata meraka lagi, tidak boleh berlandaskan struktur kapitalisme, dia mesti digantikan (revolusi) oleh struktur sosialisme.

Ada juga yang mengambil jalan tengah. Katanya, boleh saja struktur kapitalisme menjadi rumah demokrasi, tetapi perabot dan aturan mainnya mesti dirubah (reformasi) dulu menjadi sosialis. Kaum yang berpendapat seperti ini, sering dinamakan atau menamakan dirinya Sosial Demokrat.

Dalam pengalaman reformasi Indonesia, organ-organ di luar negara (bukan pejabat negara) lebih banyak meminati pandangan terakhir dibanding pandangan kedua. Meskipun begitu, baik pandangan kedua maupun ketiga, sesungguhnya sama-sama lebih apresiatif terhadap “perasaan kaum tani, buruh, nelayan dan masyarakat adat tentang sistem kekuasaan demokrasi” yakni, menginginkan sebuah demokrasi yang mampu membuat negara lebih memihak rakyat, khususnya “masyarakat miskin”, kata kaum Sosialis Radikal, atau “masyarakat sipil” menurut kaum Sosial Demokrat.

Soalnya kemudian, pasca Gus Dur, orang-orang yang memiliki jabatan di negeri ini, sepertinya lebih mengikuti pandangan pertama, membangun demokrasi dengan kekuatan kapitalisme, seperti yang diinstruksikan IMF dan Bank Dunia. Di bawah panji-panji kekuasaan Mega-Hamzah dan SBY-Kalla, pintu gerbang Indonesia pun dibuka untuk mahluk bernama Neoliberalisme.

Ritual selamat datang “pasar bebas…!” tak henti-henti digelar, misalnya: penghapusan subsidi pupuk, fasilitas kredit petani yang harus mengikuti bunga bank komersial; pengurangan peran BULOG sebagai stabilisator harga atas komoditas beras; pembebasan tarif impor beras dan bahan pangan lain dari luar negeri, pengoper alihan BUMN kepada korporasi transnasional, swastanisasi sumber daya air, peng-hapusan subsidi dan kenaikan harga BBM, dan seterusnya… dan seterusnya.

Semua ritual-ritual itu telah berjaya memperpuruk kehidupan rakyat Indonesia. Panen kemiski-nan dimana-mana. Cerita lirih menampak di televisi: Ada Kisah anak Indonesia yang gantung diri karena tak mampu membayar uang sekolah; ada sedu sedan seorang ibu yang menyaksikan anaknya tergeletak sakit dan pasrah menunggu ajal karena tak mampu membayar rumah sakit; ada kerumunan ibu-ibu yang saban hari antri minyak tanah. Dana subsidi kese-hatan dan pendidikan yang diharap bisa membantu mengatasi masalah, belakangan lebih banyak dialihkan untuk pembangunan infrastruktur desa dan kelurahan.

Arus demokratisasi, telah menjadikan Indonesia sebagai ma’mum neoliberalisme yang paling kaffah di dunia. Betapa tidak, sang Imam (Amerika Serikat dan Uni Eropa) saja, ternyata masih memberlakukan “proteksi” pada sektor-sektor ekonomi rakyatnya, misalnya pada komoditi pertanian. Tetapi di Indonesia “proteksi” terhadap sektor ekonomi petani sudah diharamkan, meskipun sesekali masih diberlakukan pada pelanggar HAM berat dan Koruptor. Ambil contoh kasus 27 juli dan penembakan Trisakti yang tak pernah tuntas. Begitu pula Akbar Tanjung serta sejumlah anggota DPRD yang diberi kado vonis bebas atas tindakan korupsi yang dilakukannya.

***
“Wah, kondisi ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Demokrasi Indonesia harus didorong kembali pemihakannya kepada rakyat,” teriak para mahasiswa dan elemen prodemokrasi. Tapi bagaimana ?

Kebanyakan dari mereka bersikeras, jika “arus atas” tidak bisa lagi diandalkan, maka pilihan alternatifnya mesti melalui “arus bawah”. Demokrasi hanya akan terwujud melalui sebuah perjuangan bersama dari seluruh elemen rakyat. Dan wilayah kontrol publik yang semakin terbuka lebar, relatif memberi peluang.

Celakanya, wilayah kontrol publik itu bukan hanya peluang bagi rakyat. Elit pun cukup cerdik memanfaatkannya. Atas nama garis feodalisme, atas nama lokalisme, “arus bawah” mampu difragmentasi (dipecah). Mereka bahkan mampu memobilisasi “arus bawah semu” untuk sebuah kepentingan, terhadap mana wilayah kontrol publik yang mulai terbuka lebar itu, cenderung dijadikan ruang pelampiasan kemarahan dan amuk massa.

Duh, Indonesiaku…! Untuk siapakah demokrasi kau semai ? Raut muka Ibu pertiwi seketika mengkerut mendengar pertanyaan itu. Maka tulisan ini pun keuhentikan sampai di sini.

*Majalah Silo Edisi III/Thn I/2005

2 Tanggapan

  1. saya baru googling ttg demokrasi dan samuel huntington, kemudian salah satu tulisan ini keluar.

    tulisan yang menarik :) :). salam kenal.

  2. Salam kenal juga….. ombifo

Tinggalkan komentar