Sepak Terjang Rantai Bisnis Sawit Perusahaan Penerima “The Norwegian GPFG”

Pengantar

Biro Pusat Statistik (BPS) merilis data 2009, bahwa volume ekspor minyak sawit (Palm Oil) Indonesia mencapai 21 juta ton. Nilainya berkisar 1,6 juta Dolar AS. Hingga  tahun 2011, volume produksi sudah mencapai 23 juta ton. Fakta ini mewajarkan Indonesia bersama Malaysia sebagai produsen kunci minyak sawit dunia. Sekitar 80 % minyak sawit dunia, hasil dua negeri ini. Malah tahun 2015, Indonesia menargetkan produksi minyak sawitnya sekitar 63 juta ton. Untuk target itu, diperlukan perluasan perkebunan sawit antara 350.000 ha sampai 400.000 ha per tahun (GEMAS, 2011).  Gelder (2004) dan The Star (2009) memproyeksikan, perluasan perkebunan sawit di Indonesia tahun 2020 akan mencapai 10 juta hektar (dalam Sangaji, 2009: 4). Estimisi ini sangat mungkin lebih, sebab sampai tahun 2011 saja, luas perkebunan sawit Indonesia sudah mencapai 8.063.431 hektar, tersebar di berbagai Provinsi (Yanuar, 2011), termasuk Sulawesi Tengah (Sulteng).

Di Sulteng, perkembangan perkebunan kelapa sawit sudah dimulai sejak 23 tahun lalu, tetapi ekspansi fenomenalnya sangat terasa sejak tahun 2007. Yayasan Merah Putih (YMP) mencatat, pertahun 2011 luas areal konsesi perkebunan sawit di Sulteng mencapai kurang lebih 314.664 hektar, yang dikuasai oleh 21 perusahaan. Dari jumlah ini, lebih dari separuhnya atau 13 perusahaan merupakan bagian dari rantai bisnis 3 perusahaan konglomerasi penerima dana investasi dari Pemerintah Norwegia yang bersumber dari The Norwegian Government Pension Fund-Global (GPFG) tahun 2011, masing-masing: (1) Group Astra International Tbk., sebesar USD 231,3 juta ; (2) Golden Agri-Resorces Ltd., sejumlah USD 44,1 juta; dan (3) Wilmar Internasional Ltd., senilai USD 63,8 juta, tetapi tahun 2010 sebesar USD 102,98 juta (RFN, et.al., 2012: 27).

GPFG merupakan dana pensiun nasional yang berasal dari pendapatan minyak dan gas Norwegia, dimaksudkan sebagai dana bantuan jangka panjang bagi masyarakat Norwegia. Aset GPFG dikelola oleh Bank Sentral Norwegia melalui Norges Bank Investment Management (NBIM) terutama untuk diinvestasikan ke luar negeri dalam rangka pengembangannya. Penginvestasian GPFG, menurut Menteri Luar Negeri Norwegia, dipersyarati dengan kontrol etika yang ketat, antara lain “kewajiban bagi perusahan penerima investasi GPFG untuk menghormati hak-hak fundamental masyarakat yang terpengaruh oleh aktivitas usaha” (Ibid: 14)

Tulisan ini bermaksud menggambarkan sepak terjang perusahaan-perusahaan yang menjadi rantai bisnis 3 perusahaan konglomerasi penerima GPFG yang ada di Sulteng. Dengan gambaran itu, diharapakan bisa menjadi bahan untuk menilai apakah persyaratan etika investasi GPFG seperti yang diklaim Menteri Luar Negeri Norwegia benar-benar sebuah “praktek” atau hanya “retorika”. (download tulisan selengkapnya)

Tinggalkan komentar