Belajar tentang Ketegasan

Beberapa saat lalu, seorang sahabat berbaik baik hati memberi copy-an film “Omar”. Film yang menukilkan sejarah kehidupan Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a., sebelum dan setelah fawatnya Rasulullah SAW itu, sesungguhnya sudah tayang di MNC-TV, bulan ramadhan kemarin. Saat ini bahkan sedang tayang ulang.

Saya butuh waktu cukup lama menonton copy-an film itu. Hampir separuh malam selama enam hari. Kendati begitu, rasanya puas juga ketimbang nonton di MNC-TV. Pertama, karena tak terinterupsi iklan yang bikin hati geram dan kehilangan konsentrasi. Kedua, ada banyak pelajaran yang tersirat maupun tersurat. Pelajaran yang paling membekas adalah tentang “ketegasan” dalam memimpin.

Kalau harus membuat kesimpulan, saya mau bilang begini: Sepeninggal Rasulullah Muhammad SAW, kejayaan pemerintahan Islam sesungguhnya banyak-banyak dikarenakan oleh ketegasan Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. dan Umar Ibnul Khattab r.a., dalam memimpin. Keduanya memang berbeda dalam mengekspresikan dan mengartikulasikan ketegasannya. Jika Abu Bakar dengan sifap lembutnya, maka Umar dengan sifat kerasnya. Meskipun berbeda, tapi ternyata keduanya bisa menghasilkan ketegasan yang efektif. Terbukti, kedua sahabat Nabi SAW itu, sangat dihormati dan disegani kawan maupun lawan.

Walhasil, wilayah dan sistem pemerintahan mereka berkembang luas biasa. Kekuasaan Persia, Bizantium dan daerah di luar Semenanjung Arabia bersimpuh dalam kepemimpinan mereka. Dengan bantuan para sahabat lainnya, wabilkhusus Imam Ali r.a, sistem administrasi pemerintahan berkembang. Sistem hukum pun demikian. Tentu saja semua itu tetap bersandar pada ajaran Rasulullah SAW.

Dari kepemimpinan dua sahabat Rasulullah itu, kita bisa mengambil pelajaran bahwa sifat “lembut” atau “keras” bukanlah faktor penentu kualitas ketegasan pemimpin. Lembut atau keras hanyalah cara mengekspresikan ketegasan. Lantas apa faktor penentunya ? Film Omar, secara tersirat menunjukkan empat faktor kunci yang membuat Abu Bakar dan Umar, bisa berlaku tegas dalam kepemimpinannya: keberanian, keterbukaan, kejujuran dan sikap adil. Tanpa empat faktor ini, rasa-rasanya memang mustahil seorang pemimpin bisa bertindak tegas. Itulah pelajaran yang bisa saya tangkap dari Film Omar.

Tapi saya tidak bermaksud secara otomatis menggunakan empat faktor ini sebagai variabel penilai ketika para pengamat — yang ahli maupun amatiran — ramai-ramai menuding Presiden SBY sebagai pemimpin yang tidak tegas. Sebab boleh jadi “keraguan-raguan” atau “kelambanan” SBY dalam mengambil keputusan, yang selama ini kerap dijadikan indikator ketidak tegasan tersebut oleh para pengamat, justeru sebuah bentuk ketegasan. Tegas untuk memilih ragu atau lamban mengambil keputusan ketika seluruh elemen masyarakat menuntut sebaliknya. Ketegasan untuk memilih bertentangan dengan kehendak publik.

Demikian halnya ketika konflik KPK versus Polri kian memuncak. Presiden SBY pun menunjukkan ketegasan. Tegas untuk memilih menyalahi langgam kepemimpinannya selama ini: akomodatif dan hendak menyenangkan semua orang. Buktinya, di televisi sang Presiden cukup tegas membuat instruksi tegas meskipun tidak mengenakkan Polri. Bahwa Polri sebaiknya melimpahkan penyidikan kasus korupsi pengadaan simulator SIM kepada KPK. Ketegasan ini tentu saja harus diapresiasi, meskipun untuk itu butuh biaya dan tenaga yang relatif besar. Biaya dan tenaga para aktivis untuk melakukan unjuk rasa. Biaya dan tenaga para tokoh untuk kumpul dan bikin konferensi pers.* (Tion Camang)

Tinggalkan komentar