Menyikapi Kegelisahan

Ketika itu 15 Desember 2015 silam. Yang terkasih, Mutmainah Korona, menulis status di Facebooknya, begini :

Selamat ya ayah… smoga menjadi yang AMANAH dalam perjuangan politik perubahan atas mandat kita bersama rakyat. Sy yakin dan percaya, perubahan ini akan terwujud bersama kawan2x lainnya yg juga berjuang bersamamu saat ini. Walaupun peran legislatif hanyalah sebagian dari perjuangan sesungguhnya. Sy akan selalu berada di sampingmu dalam mendukung semua inisiatif politik perubahan yg dulu kita susun bersama, tentunya juga bersama kawan perjuanganmu. Peran ini akan kita kuatkan, rakyat akan terus mengontrolnya bersama kawan lainnya di parlemen melalui pengorganisasian yg kuat. Ada komunitas adat, perempuan, kaum miskin kota dan desa, petani, nelayan, buruh, pekerja informal dan lainnya berharap perubahan ini. We shall support you from our voice.. selamat ya …

Jujur, status ini membikin perasaanku menggado-gado, antara senang dan gelisah. Senang, karena seorang perempuan telah menegaskan dukungan moralnya padaku. Perempuan yang bukan saja ibu dari tiga orang anak-anakku, tapi juga seorang aktivis yang selama ini mendedikasikan dirinya membela hak-hak perempuan dan anak. Saya jadi teringat sebuah pepatah, “dibalik kesuksesan seorang laki-laki, pasti ada perempuan hebat dibelakangnya.” Semoga pepatah ini benar adanya, sehingga bisa menjadi jalan sukses mengemban amanah.

Senang, karena komentar-komentar atas status tersebut hampir semuanya memberi respek “selamat”, dan sebahagian besar mengiringinya dengan doa dan harapan “semoga amanah”. Tentu saja ini menjadi motivasi diri, sehingga wajib untuk di-amin-kan dan di-Insya Allah-kan.

Tetapi diantara komentar-komentar itu, ada juga yang memberi warning. “Hati-hati ya Tion. Arena ini benar-benar berbeda. Amat sangat licin dan menggiurkan. Semoga tak tergelincir,” komentar Yani (Ahmad Yani) mewanti-wanti. Dan, inilah yang menggelisahkan saya.

Gelisah, karena memang warning Yani bukan tanpa dasar. Tengoknya saja data lansiran Indonesia Corruption Watch (ICW), seperti dikutip liputanislam.com (16/09/2014), bahwa ada 48 anggota legislatif 2014-2019 terpilih tersangkut perkara korupsi. Dari jumlah itu, 26 anggota DPRD Kabupaten/Kota, 17 orang anggota DPRD Provinsi dan 5 orang anggota DPR-RI. Dalam sumber yang sama, Kementerian Dalam Negeri juga mendata bahwa sejak 2004-2014, anggota DPRD se-Indonesia yang tersangkut perkara korupsi sejumlah 3.169 orang.

Kegelisahan kian membuncah ketika mendengar kabar terkini dari Lingkaran Survey Indonesia (LSI). Katanya, hingga Desember 2015, tingkat kepercayaan publik terhadap DPR mencapai titik terendah dalam sepuluh tahun terakhir, hanya 40 %. Ini bahkan lebih rendah dari lembaga lainnya, termasuk DPD (53,4 %) yang kewenangannya lebih terbatas. Padahal Januari 2010, masih 64.70 % publik percaya pada DPR, lantas turun menjadi 57.40 % pada 2012. Kasus “Papa Minta Saham”, “Trump Gate” serta “Dagelan Politik” MKD yang menjijikkan dinilai menjadi sebab ketergerusan itu (BERITASATU.com, 17/12/2015).

Buya Ahmad Syafii Maarif, menyebut atmosfir politik tersebut sebagai potret peradaban politik yang rendah dan kumuh. Memperoleh jabatan publik sebagai anggota legislatif dalam peradaban politik rendah dan kumuh itu, sudah pasti bukanlah sebuah kemewahan apalagi kenikmatan, melainkan sebuah amanah yang sungguh berat. Kegagalan menjalankan amanah tersebut, bakal membuat jabatan publik itu menjadi “musibah”.

Itulah sebabnya ketika dibaiat sebagai pejabat publik (Khalifah) Bani Umayyah, Umar bin Abdul Azis, berucap Inna lillahi wa Inna ilaihi raji’uun bukan Alhamdulillah. Tak ada pesta syukuran berhias kegembiraan. Yang ada pesta kegelisahan disapih zikir dan doa keselamatan. Karena baginya tahta dan jabatan yang diberikan adalah musibah. Maka menjadi pantas mempertimbangkan hal ini untuk menyikapi kegelisahanku: Doa Kesalamatan, doa tolak bala.* (Tion Camang)

Sumber: Majalah SILO, Edisi: 64 Tahun 2015.

Tinggalkan komentar