Agama Neoliberalisme

Gara-gara neoliberalisme sering dicumbu-cumbu di media massa. Gara-gara SBY-Budiono dituding sebagai antek-antek neoliberalisme menjelang Pemilihan Presiden, saya jadi ketiban getahnya. Pasalnya seorang imam desa jadi penasaran dan bertanya, “apa itu neoliberalisme…?”

Saya jadi “gagap”. Bingung bagaimana menjelaskannya dalam bahasa yang bisa dipahami olehnya, si imam desa. Dengan terbata-bata, berbekal pemahaman seadanya, saya coba memberi penjelasan begini: Jika diibaratkan agama, maka neoliberalisme itu adalah agama yang percaya bahwa “Pasar” adalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Pokoknya, “tidak ada tuhan selain Pasar”.

Jika Islam punya Rukun Iman, neoliberalisme pun punya, yakni kendali “harga” (price). Neoliberalisme percaya bahwa seluruh kehidupan ummat diatur dan digerakkan oleh harga yang disepakati bersama antara penjual dan pembeli. Jadi, neoliberalisme selalu mengajarkan agar ummatnya berpasrah diri “dikendalikan oleh kekuatan harga”. Tidak boleh dikendalikan oleh kekuatan selain “harga”, misalnya, campur tangan pemerintah.

Hanya dengan berpasrah diri pada pasarlah, maka penganut neoliberalisme bisa memperoleh pahala besar bernama “uang atau modal” yang menjadi bekal untuk menikmati kehidupan sorga. Sorga yang dicita-citakan neoliberalisme bernama “kekayaan”. Karena itu, neoliberalisme selalu menyerukan agar ummatnya berlomba-lomba menumpuk kekayaan.

Seperti juga Islam yang memiliki “Rukun Islam” sebagai bentuk pengamalan “Rukun Iman” agar mendapat sorga, maka rukun ibadah neoliberalisme ada tiga, yakni: Liberalisasi, Deregulasi dan Privatisasi. Ketiganya adalah bentuk ibadah penganut neoliberalisme untuk mendapatkan sorga (kekayaan).

Pertama, “liberalisasi”. Ini adalah proses ibadah yang menghendaki agar ummat neoliberalisme diberi “kebebasan seluas-luasnya” melakukan tindakan apa saja untuk mendapatkan “keuntungan” bagi dirinya sendiri sesuai ketentuan “harga”. Liberalisasi juga mengharuskan ummat neoliberalisme (pembeli dan penjual) diberi “kebebasan seluas-luasnya” bersaing dengan cara apapun untuk mengendalikan dan menentukan harga. Harga tidak boleh ditentukan atau dikendalikan oleh pemerintah.

Contoh, harga BBM dan harga pupuk. Tidak boleh ada subsidi dari pemerintah. Itu tindakan haram dalam ajaran neoliberalisme, karena harga jual BBM dan Pupuk akan murah, sehingga merusak “harga pasar”. Karena itulah pemerintah mencabut subsidi harga BBM dan Pupuk, membiarkannya dikendalikan oleh “harga pasar”. Bahwa standar harga pasar itu sangat tinggi bagi rakyat kecil, itu resiko. Yang pasti, “pemilik uang” tetap akan membeli, dan penjual tidak dirugikan.

Kedua, “deregulasi”. Ini adalah proses ibadah yang mengharuskan agar aturan-aturan atau kebijakan-kebijakan yang memberikan kuasa kepada pemerintah untuk mengatur atau mengendalikan harga maupun pasar, mesti dicabut atau dihapuskan. Aturan yang harus dibuat adalah yang memberikan kesempatan kepada sebanyak mungkin pemilik modal, bersaing menjadi pembeli atau penjual dalam sektor apapun. Tidak boleh ada sektor tertentu yang dilindungi atau terlarang dikendalikan oleh “harga”.

Contoh, meskipun air adalah hajat hidup orang banyak, pemerintah tidak boleh melarang pemilik uang untuk membeli sumber air dan menjualnya dengan harga yang ditentukan sesuai permintaan pasar. Pemerintah tidak boleh melarang pemilik uang membuka mall-mall untuk melindungi pasar tradisional. Pemerintah tidak boleh melarang petani berdasi masuk bersaing dengan petani kecil di desa. Tidak boleh melarang pengusaha beras dari luar negeri menjual berasnya yang murah di dalam negeri, meskipun merugikan petani kita di desa. Pokoknya, aturan-aturan yang membatasi pemilik uang mengembangkan usahanya, harus dihapus, titik.

Ketiga, “privatisasi”. Ini adalah proses ibadah yang menghendaki agar seluruh jenis usaha yang dilakukan atau dimiliki negara atau pemerintah, harus diswastakan atau dijadikan milik orang-perorang. Itulah sebabnya banyak Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di jual sehingga menjadi milik swasta, milik orang perorang yang berduit.

Keharusan penswastaan itu, tidak hanya terbatas pada jenis-jenis usaha ekonomi, tetapi juga jenis-jenis usaha yang bersifat sosial, politik dan budaya, seperti pelayanan pendidikan, kesehatan, prasarana publik, dan lain-lain.  Semua itu harus diprivatisasi.

Banyak yang bilang, privatisasi ini adalah semcam “ma’rifatnya” neoliberalisme. Karena inti ajaran neoliberalisme adalah menjadikan motif mengejar kepentingan individu, privat atau orang perorang menjadi tujuan utama. Motif sosial, seperti membangun solidaritas sosial, menolong dan melindungi kaum miskin tak berpunya, tidak dibenarkan. Kalau ada penganut neoliberalisme tetap menjanjikannya, boleh jadi itu hanya kampanye untuk merebut simpati atau memang dia belum sampai pada ma’rifatnya neoliberalisme.

Begitulah penjelasan saya kepada si imam desa. Mudah-mudahan tidak salah kaprah. (Tion Camang)

Satu Tanggapan

  1. Yah kurang lebih begitu, memang di sekolah tidak ada mata pelajaran khusus yang menyinggung neolib (kecuali mungkin sejarah, itu pun hanya sekadar lewat), wajar-lah banyak yang tidak tahu (lha saya juga ga begitu paham).

Tinggalkan komentar