Pelajaran dari Oslo

Pertengahan Juni kemarin (13 – 20 Juni 2009), meluncur ke Bumi Viking. Kami diundang Rainforest Foundation Norway (RFN) yang bermarkas di Oslo, ikut konferensi internasional masyarakat sipil tentang perubahan iklim.

Penat dan letih! Ini kondisi yang terasa dalam perjalanan Jakarta-Oslo. Jarak tempuhnya lebih kurang 16 jam, dengan maskapai penerbangan KLM. Kami berangkat dari Bandara Cengkareng, 13 Juni 2009,  jam 18.45 wib. Keesokan harinya, kira-kira jam 09.00 waktu setempat, kami baru tiba di Gardermoen Oslo, bandara tujuan.

Keletihan luar biasa sangat terasa dalam perjalanan dari Kuala Lumpur International Airport (KLIA)  ke Bandara Schiphol Amsterdam, tempat kami transit. Untunglah suasana bandara Schipol cukup menarik, sehingga kepenatan terobati. Tapi di tengah kemegahan Bandara Schiphol, ada suasana yang memiriskan hati, ketika kami berada di checkpoint untuk melewati imigrasi Belanda menuju ruang tunggu.

Disitu ada paling sedikit 10 loket, semuanya dipenuhi antrian membludak. Sialnya, jalur loket antrian kami sangat lamban bergerak maju mendekati loket. “Kalian sih antri di belakang orang berkulit gelap (hitam, red). Di sini, setiap orang yang berkulit gelap diperiksa sangat teliti,” bisik seorang petugas imigrasi yang kebetulan asal Singapura, dalam bahasa melayu, kepada rombongan kami.

Benar saja, selama antri, kami mendapati sejumlah orang berkulit gelap dibawa ke ruang secoundary check untuk dimintai keterangan, jika naif disebut “diinterogasi”. Nampaknya, bandara Schipol kurang bersahabat dengan manusia berkulit gelap. Pandangan mata penuh selidik dari petugas imigrasi berkulit putih selalu mereka dapatkan. Ini pelajaran moral pertama: “demokrasi tidak bergerak paralel dengan pluralisme dan anti rasisme”.

Pagi, 14 Juni 2009 tepatnya jam 08.50 waktu setempat, kami telah melayang di atas Oslo. Sinar mentari menembus jendela pesawat, seolah memanggil kami menikmati keindahan landschap bumi Oslo dari udara.

Dari angkasa, bentang alam negeri di bagian barat Semenanjung Skandinavia ini, adalah karya seni agung. Bergunung-gunung, disapih hamparan hutan yang terpelihara baik dan berpadu danau-danau biru. Kawasan perkotaan tertata apik dan bersih membingkai teluk yang jauh menjorok ke daratan.

Ingin rasanya berlama-lama menikmati, tapi si burung besi terlalu cepat landing. Di luar Bandara, Anja Lillegraven, salah seorang panitia, telah menunggu. Dari beberapa ceritanya sepanjang perjalan, ditambah informasi lepas yang sempat saya rekam, saya jadi maklum, mengapa lingkungan alam Norwegia terpelihara baik.

Rupanya dari kacamata budaya dan politik, alam merupakan simbol nasional. Alam adalah elemen penting bagi identitas nasional negara itu. Rata-rata kartu pos yang dikeluarkan industri pariwisata, didominasi gambar lingkungan alam ketimbang atraksi budaya. Sekolah-sekolah pun tiap tahun menyelenggarakan agenda reguler dekat dengan alam, misalnya hari ski.

Kekaguman terhadap alam, bukan fenomena baru. Tapi sudah menjadi modal personality yang terkait dengan kegiatan keluarga. Meskipun mereka umumnya telah tinggal di rumah dan apartemen, tapi rata-rata masih memelihara tradisi tinggal di kabin sederhana (semacam pondok, red) sekitar hutan di pegunungan atau pesisir. Kabin Norwegia umumnya dibangun dari balok kayu. Pemanas ruangan pun jamak menggunakan kayu, meski kerosin diijinkan. Lampu minyak atau lilin menjadi penerang saat malam di musim dingin.

Pokoknya, unsur modern dalam kabin diminimalisir, bukan karena alasan ekonomi. Tapi didasarkan pada nilai ideologi dan moral setempat untuk tetap memelihara kedekatan hubungan dengan lingkungan dan gaya hidup selaras alam. “Anda meninggalkan peradaban dengan segala kenyamanan dan kekerasannya untuk mengenali diri sendiri dan merasa sebagai orang seutuhnya,” begitu kira-kira filosofi hidup kebanyakan masyarakat Norwegia.

Ini pelajaran moral kedua: “Menyelamatkan lingkungan butuh basis ideologi dan kearifan tradisional”. Lantas pelajaran moral ketiga ? Itu saya dapatkan dalam seminar dan konferensi yang membahas Reducing Emissions from Deforestration and Forest Degradation(REDD). Sebuah konsep yang intinya hendak memberi konpensasi dana bagi pemerintah dan pengusaha kehutanan dan perkebunan besar agar tidak merusak hutan untuk membendung ancaman climate change. Wujud logika kapitalisme yang kian aneh dan frustasi, menurut Lars Lovold, Direktur RFN. Aneh, karena dalam analogi lain, sama halnya membayar perusak agar tidak lagi merusak. Sementara yang melakukan perbaikan tidak perlu dibayar.

Davi Kopenawa, Kepala Suku Indian Yanomami, dari pedalaman hutan Amazon Brasil, tampil berkomentar “Puluhan tahun lalu, kami mendapatkan asap ketika hutan kami dibakar demi uang. Saya katakan pada mereka, suatu saat kalian pun akan merasakan akibatnya. Sekarang, itu sudah terbukti. Kalian akhirnya membuat konsep bagus di atas kertas untuk menyelamatkan lingkungan demi uang. Kami tidak punya konsep di atas kertas, tapi itu terukir di hati dan jiwa kami. Inilah pelajaran moral ketiga, yang membuat saya semakin kagum pada kearifan suku-suku asli dan masyarakat adat.

Karena itu, bagi saya, tidak ada alasan untuk menolak “Oslo Statemen” yang dihasilkan oleh seminar itu. Bahwa REDD dapat menjadi peluang, tetapi untuk itu harus mengakui dan memberi kompensasi atas hak dan peranan suku asli dan masyarakat adat terhadap perlindungan hutan tropis. Setiap prakarsa hutan-iklim harus:

  • bersifat inklusif dan menjamin keikutsertaan luas dari suku asli dan masyarakat adat, mulai dari tahap rancangan dan perencanaan sampai tahap implementasi dan pemantauan;
  • menghormati dan mematuhi hukum, konvensi dan norma internasional yang melindungi hak asasi suku asli serta masyarakat adat, termasuk hak suku asli atas kesempatan memberikan persetujuan ikhlas terlebih dahulu berdasarkan informasi lengkap, juga hukum dan adat-istiadat masyarakat yang tergantung pada sumber daya hutan;
  • memperkuat peranan, hak dan kapasitas suku asli dan masyarakat adat serta organisasi mereka, juga memperkuat dan memajukan sistem pengelolaan sumber daya dan pengetahuan tradisional milik suku asli;
  • berdasarkan pada kepastian hak atas tanah dan sumber daya alam milik masyarakat adat serta hak ulayat atas kepemilikan serta penggunaan lahan, yang merupakan prasyarat bagi perlindungan hutan yang efektif;
  • mendukung dan memajukan tata kelola pemerintahan yang baik, terutama sehubungan dengan kebijakan hutan dan penegakan hukum terkait;
  • menjamin kelestarian perlindungan hutan primer sebagai sumber mata pencaharian dan biodiversitas yang menakjubkan serta mengakui kenyataan bahwa perkebunan bukan merupakan hutan;
  • menanggulangi faktor-faktor yang sebenarnya mendorong deforestasi dan degradasi hutan, antara lain pengusahaan kayu berskala industri dan konversi hutan menjadi perkebunan, penggunaan agroindustri, pertambahan dan usaha eksploitasi sumber daya alam lain yang berskala besar serta pembangunan infrastruktur;
  • berusaha mengurangi konsumsi kayu dan hasil hutan lainnya serta hasil pertanian berskala besar yang berasal dari hutan yang telah mengalami degradasi dan perubahan kegunaannya;
  • menjaga supaya manfaat dibagikan dan menjangkau masyarakat hutan secara transparen dan merata;
  • menjamin akses akan mekanisme transparan dan tidak memihak serta partisipatif untuk pencegahan dan penyelesaian konflik serta keluhan, agar masyarakat adat terjamin dapat mengupayakan keadilan atas dampak negatif dari kegiatan berkaitan dengan REDD dan menyelesaikan konflik yang mungkin timbul sehubungan dengan kepemilikan, penggunaan serta akses terhadap hutan;
  • mencegah pemanfaatan prakarsa REDD oleh negara-negara industri sebagai cara menghindar dari kewajiban mengurangi emisi mereka sendiri;
  • menegakkan kewajiban pemerintah-pemerintah untuk menghormati dan memajukan hak suku asli dan masyarakat adat, termasuk dengan menjamin kebutuhan pokok mereka dan pemenuhan hak mereka atas pembangunan yang berkelanjutan.

Meskipun perhatian dunia akan pentingnya hutan bagi iklim dapat menjadi peluang besar dalam usaha mengubah pola pembangunan di negara berhutan tropis, masih sangat besar kemungkinan upaya-upaya ini mengalami kegagalan. Jika REDD tidak menghormati prinsip-prinsip di atas, rencana ini dapat saja gagal menyediakan solusi bagi hutan dan masyarakat hutan serta planet bumi kita secara keseluruhan. REDD dapat dijadikan titik permulaan baru yang penting. Mari kita pastikan, agar tidak menjadi titik permulaan kehancuran. (tioncamang)

Satu Tanggapan

  1. Mas, info perjalannan jakarta oslo cukup membantu saya. kl saya boleh tanya, harga tiket berkisar berapa? Insya Allah Juli ini saya ke oslo untuk s2. makasih banya ya =)

Tinggalkan komentar