Potret Welfare State Indonesia

Semasa SMA dulu, guru Pendidikan Kewarga Negaraan kami tak bosan-bosan kasi ceramah tentang potret Indonesia yang membanggakan. Bukan karena “tujuan instruksional mata pelajaran” dia berbuat begitu, tapi karena sang guru memang punya kadar nasionalisme dua puluh empat karat. Tak jelas, dari mana dan bagaimana dia mendapatkannya. Hanya dia yang tahu.

“Menjadi anak Indonesia adalah sebuah keistimewaan,” katanya menatap tajam kepada kami. Apa pasal ? Karena selain ibu pertiwi punya alam kaya raya, bunda pertiwi juga sungguh elok hatinya. Kekayaan itu bakal difaedahkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Merasa perkataannya seolah disangsikan, sang guru pun membacakan Alinea IV UUD 1945 sebagai dalil pendukung. Masih tak puas juga, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 ditulisnya di papan tulis: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.

Seperti dikomando, kami kompak mengangguk seolah-olah paham. Dan sang guru senyum puas, sembari menutup buku. Pelajaran selesai.
Belakangan, ketika ikut penataran P4 — keharusan yang menjemukan bagi seorang mahasiswa baru masa itu — barulah saya tahu, apa yang dikatakan sang guru itu adalah manifestasi dari konsep Indonesia sebagai “negara kesejahteraan”. Welfare State, istilah bulenya. Seingatku, ada segudang konsep teori soal ini. Tapi agar kontekstual untuk ranah pikir Indonesia, cukup menggunakan kerangka pikirnya Bung Hatta saja, sang founding father bumi pertiwi.

Bung Hatta bilang, negara kesejahteraan itu, negara yang meratakan kemakmuran ke seluruh rakyat, sehingga rakyat terbebas dari kesengsaraan hidup bernama: kemiskinan. Caranya ? Kebijakan alokasi sumber daya ekonomi (baca juga: kekayaan alam) diabdikan kepada sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, tanpa pandang bulu. Titik.

Syukur Alhamdulillah, konsep Hatta itu, sedikit banyak, masih menyemangati pasal-pasal dalam UUD 1945, meski telah diamandemen empat kali. Meski semangat sosialisme ekonominya telah berganti “pasar sosial”, toh cita-cita alokasi sumber daya ekonomi masih nunut pada petuah Hatta: semangat keadilan sosial. Coba lihat pasal 34 ayat (1) yang masih menggunakan rumusan lama, “Fakir miskin dan anak-anak yang telantar dipelihara oleh negara”.

Kalaupun amandemen IV menambahkan ayat-ayat lain pada pasal 34 itu, semangatnya justeru lebih moy…! Ayat (2) mengamanatkan kemestian “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”. Selain itu, nongol juga ayat (3) yang mengharuskan “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”.

Wow, dengan pasal-pasal itu, pasal 33 dan 34, hati siapa tak bangga menjadi anak Indonesia? Apalagi semua itu tak berhenti jadi tulisan mati yang ditumpuk di rak-rak buku. Saban musim pemilu tiba, pemilu legislatif atau pemilu presiden, pilkada gubernur atau pilkada bupati/walikota, pasal-pasal suci itu, secara retorik, acapkali di-breakdown menjadi program-program Insya Allah-nya para kandidat.

Satu-satunya kelemahan dari pasal-pasal suci itu, hanya dalam praktek saja. Ambil contoh APBD Sulawesi Tengah 2009. Biaya untuk mewujudkan ayat (2) dan (3) pasal 34 itu, kalah jauh dari biaya perjalanan dinas. Jika biaya perjalanan dinas mencapai Rp 111 milyar ditambah lagi Rp 10,53 milyar dalam perubahan APBD sehingga menjadi 120,53 milyar, maka biaya fasilitasi pelayanan kesehatan masyarakat miskin lebih kurang hanya Rp 6,4 milyar. Ini sudah termasuk program kesmas, perbaikan gizi, serta program peningkatan kesehatan ibu dan anak. Jika dibagi rata untuk masyarakat miskin Sulawesi Tengah yang kurang lebih 500 ribu jiwa, jatuhnya Rp 12.800 per orang per tahun.

Itu satu contoh. Contoh lain ? Kita anggap saja sebabnya karena salaf tafsir. Misalnya kata “dipelihara” dalam pasal 34 ayat (1) UUD 1945, oleh dinas tata kota dipahami sebagai “ditertibkan”. Sehingga ayat ini seolah bermakna: “Fakir miskin dan anak terlantar ditertibkan oleh negara”. Karena itulah, Trantib atau Satpol PP mesti direkrut untuk sebesar-besarnya menggusur rumah kumuh, lapak kaki lima atau apa saja yang bersimbolkan fakir miskin dan anak terlantar. (Tion Camang)

Tinggalkan komentar